Monday, July 15, 2013

Fear the Promise part six



Sesuatu untuk dibebaskan, dipelajari dan dilakukan.

PART SIX : an Ironical Beauty
Florence, Italy. 1476
Day unknown

Sebuah rumah dengan beberapa kilatan misterius sudah terlihat di depan. Berupa lampu pendar yang belum pernah kulihat sebelumnya, mungkin penemuanya yang baru, mungkin. Sangkar burung dengan berbagai ukuran juga terlihat tergeletak disana, dengan rapi dengan isi yang masih ada ; burung. Aku sudah mendapatkan apa yang aku cari, hemat waktu adalah bijaksana, jadi langsung saja aku masuk ke rumahnya, meskipun agak canggung awalnya, tatapan mata selalu kebawah dikarenakan tatapan orang-orang disini. Ya, sudah sangat ramai disini.
Beberapa orang membawa sangkar mewah dengan tangkapan yang sama nilainya dengan harga sangkar tersebut. Membuang-buang uang? Tentu saja untuk mereka, bukan untuknya. Dan tentu saja aku malu, aku bahkan tidak membawa tangkapanku.
Beberapa menitpun lewat, akhirnya aku menemukan sendiri tangkapanku. Bukan  seekor burung, tapi tentu saja messer Leonardo.

"Tuan Leonardo?" Aku seraya memanggilnya meskipun harfiahnya itu sebuah kata tanya-umum di kalangan masyarakat yang agak samar jika masih sarang menemui orang tersebut.
"Oh! Cepat sekali? Dengan apa kau pergi? Kurasa kaki manusia tidak akan secepat itu untuk berjalan, kecuali kau berlari dengan tenaga kuda pada otot betismu itu, hahaha."
"Tidak ada yang perlu dipertanyakan pada kaki kudaku ini Leonardo, hahaha." Aku melanjutkan humornya, meskipun aku ingin segera tau kenapa Leonardo mengajakku menemuinya kembali.
"Kaki kuda? Kau bisa menarik gerobakku untuk lain hari kalau begitu mister Claudio, hahaha! Oh ya, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu," Dengan menepuk pundakku, dia mengisyaratkan untuk pergi keatas dengan menunjukkan tempatnya dengan telunjuknya, sebuah ruangan lantai tiga, sebuah balkon. 
Sesuatu yang akan dilakukan orang ini akan selalu menjadi sebuah daya tarik ilmu pengetahuan dan seni, namun aku antara tidak sabar dan tidak punya waktu untuk sesuatu yang butuh dipikirkan, mungkin 'bersegera' adalah nama tengahku sekarang, mengingat ada wanita yang masih terluka di rumah pak tua itu.

Sesaat sebelum dia mengangkat kakinya untuk menginjakkan di tangga menuju lantai tiga, dia mengatakan sesuatu kepadaku.
"Apakah kau penyayang binatang tuan?" 
Pertanyaan yang tidak terduga mudah dijawab, tapi sekedar menjawab tanpa bisa berpikir revolusioner tentang bagaimanakah jawaban itu akan bertanggung jawab di kemudian hari.
"Tentu saja, siapa yang tidak mencintai binatang?" Kuteruskan perbincanganku yang masih saja tanpa akal dan pikiran untuk pertanggung jawaban tersebut, sebuah dosa manusia.
"Senang mendengarnya, karena aku merasa takut bahwa kau mungkin seorang yang masa bodoh dengan makhluk ciptaan-Nya selain kita, manusia kotor dan bengis ini. Mungkin sebaliknya, mereka yang bersih dan suci, bukan kita."
Leonardo memberikan penjelasan yang masuk akal untuk membandingkan kita, manusia dengan makhluk tuhan lainya, sebagai contoh adalah hewan, dan dalam kasus ini mungkin yang dimaksut adalah burung.
"Bagaimana jika aku memberikan kau seekor ini, Tuan?" Leonardo melanjutkan, dengan memberikan sebuah sangkar dengan sebuah hewan terbang di dalamnya, seekor burung Pigeon!.
Berupa harta benda yang sangat mewah jika kau mempunyai seekor burung yang mampu membantumu untuk mengkabarkan keadaanmu yang sekarang kepada keluarga dirumah, tentunya dengan beberapa bantuan dan pelatihan lebih lanjut. Tapi, ini merupakan hal yang benar-benar istimewa bagiku. Hanya orang-orang yang berkepentinganlah yang seharusnya punya makhluk terhormat seperti ini, tidak dengan tikus melarat seperti aku.
Leonardo membawakan sangkar kecil dengan rusuk-rusuk kayu berwarna emas itu dan menyerahkanya kepadaku, tetapi tiba-tiba dia membuka sebuah pintu kecil yang terletak tepat di bagian samping sangkar itu, dan tidak sampai aku menghitung hingga lima, sudah tinggal bulu yang tertinggal dalam sangkar tersebut. Hilang dalam malam dan langit.
"Leo! Apa yang kau lakukan?" Suaraku menyeruak dengan menahan keheranan. Heran atas perilaku Leonardo yang semakin hari semakin aneh, aku sendiri kebingungan untuk mengatasi kejeniusanya ini.
Tidak ada jawaban, dia hanya menunjukkan jari telunjuknya keatas langit gelap dimana burung itu terbang, sambil tersenyum dia mengangguk dan mengelus-elus dagunya, mengambil catatanya dan menghembuskan nafas kelegaan, seolah-olah dia mendapatkan sesuatu dari kejadian ini.
"Kau berkata kau adalah seorang penyayang binatang, bukan begitu mister Claudio? Ini adalah salah satu hobiku, melepaskan burung hasil tangkapan orang lain, lalu melihatnya bebas terbang di angkasa sembari mengamati bagaimana cara makhluk indah ini terbang, bukankah ini sebuah keindahan yang rumit, temanku?" Dia mengatakan perkataan yang cukup panjang untuk menjelaskan apa yang dia lakukan. Hal yang cukup menjelaskan semuanya. Ternyata untuk hal yang sedemikian sederhana, namun begitu nikmat untuk dinikmati, aku merasakanya sekarang, apa yang dimaksut oleh seorang gila ini. Tentunya, seorang gila yang jenius.
"Kau seorang gila yang jenius, Leonardo." "Ya, begitulah mereka biasanya memanggilku, tanpa bermaksut sombong kepadamu," Aku sedikit tersenyum menikmati keindahan sederhana ini, tidak pernah kurasakan sebelumnya kesempurnaan yang rumit dari keindahan yang bisa diperoleh dengan semudah ini. "... jadi Tuan Claudio, shall we?" Dia mengarahkanku kepada selusin lebih sangkar yang menunggu untuk dibukakan. Aku tersenyum tangis, masih banyak waktu untuk dinikmati. Masih ada.
Aku paham sekarang bagaimana manusia tidak mampu berpikir logis dan jernih dikarenakan masalah duniawi yang terlalu rumit, padahal terlalu banyak hal indah yang tertulis di bumi. Tidak perlu menjadi seseorang yang mempunyai otak seperti maniak sehingga mampu menghidupkan mayat, tidak perlu menjadi seorang kaya yang bisa membeli seantero pulau, dan tidak perlu menjadi seorang seniman yang mempunyai tangan magis yang bisa merubah apapun menjadi indah, kau hanya perlu kata syukur untuk kemampuan berpikirmu. Aku semakin sadar, seakan digoyahkan dengan kencang untuk bangun dan memulai untuk memikirkan seluruh hal yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, karena satu tetes hujan di tanah yang kering akan berpengaruh pada hidup ini.
Aku datang pada sangkar terakhirku, kini giliranku untuk melepaskan burung ini dalam sangkarnya, tapi kata Leonardo untuk mencapai keindahan sempurna, kau harus mencintai burung itu dahulu. Dia memberikanku seekor burung itu.
"Apa kau yakin tidak ingin melepaskan yang satu ini? Jujur saja aku lebih menikmati untuk melepaskan burung ini daripada kau memberikanya kepadaku." Jelasku untuk meyakinkan dia, bahwa aku lebih menikmati untuk melepaskan burung ini daripada memeliharanya.
"Tentu saja aku yakin. Simpanlah! Datanglah kepadaku ketika burung itu sudah bisa bersiul dengan sendirinya, tapi itu tentu saja memerlukan kerja keras darimu. Jadi, maukah kau menjaganya untukku?"
Aku sedikit ragu untuk menjawab hal ini, mengingat bahwa tujuanku adalah bukan untuk tinggal di kota ini dan bersenang-senang dengan apa yang ada di dalamnya. Tapi penawaran Leo selalu berupa rahasia jenius yang sudah dia pikirkan, aku tidak ingin melewatkan hal yang akan dia tunjukkan lagi kepadaku. Jadi aku menerimanya.
Kuucapkan salam dan tanda terimakasih kepadanya untuk segala hal yang telah diajarkan kepadaku. Sungguh, aku ingin menjadikanya sebagai guru alamku, yang akan mengajarkan hal kecil yang kelak akan menjadi hal besar di kemudian hari. Aku menapak lagi langkahku di lantai berbatu kota Fiorentina ini, kembali ke desa dengan sekantung obat-obatan dari tabib tadi dan sebuah sangkar burung, dan tentunya beberapa florins tersisa. Sudah tidak sabar aku untuk kembali menemui wanita yang terakhir kulihat dia sedang terlelap itu, ku bayangkan apa dia sudah bangun sekarang? Bagaimana kalau dia sudah sadar lalu begitu saja melarikan diri? Bagaimana kalau dia sudah tidak ada disana? Pikiran jahat terlalu banyak dan menganggu pikiranku sekarang, kupercepat langkahku untuk kembali ke desa, kembali padanya.

Wednesday, July 3, 2013

Fear the Promise part five


Sayangi, jangan kau lepas dan jangan kau tangkap.

PART FIVE : a Never ending walk
Florence, Italy. 1476
Day unknown

Melihat seseorang menangkap apa arti sebuah kata indah, begitu banyak arti dan filosofi yang dimaknai dari setiap manusia. Sebagai contoh saat aku tersenyum tanpa mengerti mengapa bisa begitu, aku hanya berpikir ini mungkin hal yang paling indah yang pernah dirasakan. Tapi ada rasa menjanggal yang menyandung, berteriak, dan menyeretku untuk seolah-olah mencari tau apa itu. Aku biarkan saja pertanyaan ini mengalir dalam langkah menuju pusat kota, mungkin semakin lama akan muncul dan terkuak sendiri dalam kepala, mungkin. Tentu saja aku tidak bisa membenci suara-suara kepala yang terus menanyakan apa yang terjadi barusan ini. Karena kita tidak bisa membenci atau menyukai sesuatu, tanpa mengerti dan mengetahui ada apa dengan hal itu. Kalau kau tidak, kau bodoh.

Terlihat juga akhirnya rumah yang terbuat dari batu, sejalan tadi tidak terlihat rumah yang pondasinya meyakinkan saya akan kuatnya menahan angin disini, ini pertanda bahwa kota sudah mulai dekat dari sini. Mengetahui hal itu, aku duduk sebentar di tepian jalan ; ada sebuah meja batu. Memang sepatutnya itu adalah meja dengan luas yang pastinya adalah meja, tapi ketinggian benda ini meyakinkan bahwa ini meja untuk duduk. Kutengok sebelah kiri tempat jalanku melintas tadi, sepi. Tidak ada seorangpun terlihat sepanjang setapak batu, bahkan kau sangat beruntung jika menemui hewan yang melintas lewat jalan itu, dan parahnya jalan ini terlihat sedikit mengerikan. Serasa ramai dengan kesepian. Ah sudahlah lupakan! Kutengok sebelah kanan di mana rumah berpondasi batu itu, ada sebuah papan pengumuman ditempel di tembok luarnya. Kupikir daripada tidak melakukan apa-apa seperti batu dengan pikiran, itu lebih baik, sedikit lebih baik. Kubaca beberapa tulisan, tidak semuanya penting, beberapa ada yang mencari binatangnya yang hilang, yang lain ada yang mencari pelukis untuk hal yang masih belum aku pahami. Tapi ada satu hal yang mengejutkanku, dan nama Leonardo tertera disana. Tertulis bahwa dia ingin membeli seluruh peliharaan masyarakat disini ; burung.

Ini merupakan kesempatanku untuk mendapatkan uang, sekaligus untuk bertemu Leo yang kedua kalinya. Orang itu benar-benar memiliki kharisma seorang penemu dengan seluruh kelebihan lagi dalam dirinya. Menunjukkan kecerdasanya mungkin dia mengetahui beberapa obat yang bisa aku beli di kota ini, tentunya untuk wanita yang ada di 'rumah' pak tua itu sekarang. Dan hal yang harus kulakukan sekarang adalah, mencari burung sebanyak-banyaknya, dan akan kumulai dari jalan setapak yang kulalui tadi. Tidak adanya orang yang terlihat di jalan setapak tadi adalah alasanku, tidak akan ada saingan di dalamnya.

5 jam berlalu, spekulasiku terlalu tinggi pada awal aku mulai mencari menyebabkan kebodohan yang benar-benar dalam. Benar-benar bodoh mengira menangkap burung akan semudah menangkap wanita gemuk yang sedang berlari. Seakan-akan aku lupa bahwa mereka bisa terbang! Cazzo! Sebagai hasilnya, nihil. Melihat memang melihat, ada memang ada, tapi dari jarak 10 meter saja mereka sudah berusaha untuk terbang. Mustahil untuk menangkap mereka kecuali aku memiliki refleks ular, racun kalajengking dan sayap elang, mustahil memang. Jadi ku urungkan niatku untuk menangkap beberapa burung, aku akan mengunjungi Leonardo dulu, dan berharap ini lebih baik.

Sampai kakiku di depan rumah tingkat, dengan arsitektur menyerupai bangunan yang ada di kampung halamanku dulu, aku merasa tidak asing. Tertulis di halamanya, bagi yang ingin menjual burung hasil tangkapan silahkan langsung masuk. Karena aku mempunyai urusan yang cukup sama dengan yang tertera pada papan di halamanya, aku langsung masuk saja.
"Salve Leonardo! Come va?" Suaraku menyeruak langsung seakan kami sudah berteman seabad lebih.
"Grande! Mate bene, tu? Hei kau bukanlah seorang tampan yang kutemui beberapa hari yang lalu?" Rupanya dia masih belum melupakan kejadian 'kopi panas' itu.
"Bene grazie, ya memang benar ini aku, Sebelumnya aku belum memperkenalkan namaku. Kenalkan, Claudio..." Aku sengaja memutuskan untuk tidak mengatakan nama akhiranku, jika iya, bisa jadi orang-orang disini sudah menyalamiku. Ya, benar. Disini ramai, banyak yang membawa sangkar burung dengan mereka ditambah berbagai warna dan jenis burung yang berbeda, aku merasa tertinggalkan.
"Claudio! Kalau begitu, benvenuto! (welcome)" "Trimakasih Leonardo, ini sangat menyenangkan" "Tentu saja, silahkan melihat-lihat kedalam jika kau tertarik pada lukisan. Namun sebenarnya apakah hal yang membuatmu datang kesini? Adakah sesuatu yang bisa aku bantu, messere?"
"Sebenarnya iya, Tuan Leonardo. Sebelumnya saya melihat pada papan pengumuman yang terletak di seluruh pojok dan pelosok kota, bahwa kau ingin membeli burung dari siapapun itu. Sejujurnya aku ingin mencarikanmu seekor, namun mustahil. Aku punya tangan, bukan sayap."
"Oh temanku yang baik, aku tidak bermaksut merepotkan mu. Aku benar-benar minta maaf padamu"
"Ti-tidak usah minta maaf Tuan Leonardo, itu merupakan hal yang tidak ada hubunganya dengan kesalahanmu." Jujur saja aku kaget mendengar dia meminta maaf kepadaku, dia begitu ... ramah. Meski kadang benci mendengar seseorang yang sangat ramah dan selalu mereka yang meminta maaf terlebih dahulu daripada kita. Teguran halus namun dengan luka gerutan yang dalam.
"Tidak, aku yang salah. Sebagai permintaan maafku, tolong terimalah sekantung florins ini karena telah menyita waktumu" "Leonardo, ini terlalu baik bagiku, tapi itu hanyalah waktu, masih ada berjam-jam waktu untukku" 
Mungkin ada yang salah dengan perkataanku yang membahas waktu, dia sedikit sedih dengan memegang pundakku dengan kedua tanganya "Teman, aku harap kau tidak melupakan kata-kataku untuk kedua kalinya, sekarang ambilah uang ini, dan cari apa yang kau butuhkan. Jika sudah, datanglah kembali, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu" Perkataanya seolah-olah beralih nada, dari yang awalnya gembira dengan lantang, sekarang menjadi rendah yang jika bisa dituliskan seperti note balok, mungkin sudah menyentuh tanah, sangat rendah, sangat sedih. Sekejab aku mengingat perkataanya saat kita pertama kali bertemu di plaza, aku seperti sudah benar-benar lupa akan perkataanya yang menasihatiku untuk menyayangi waktu. 
 "Oh mio dio! Maafkan perkataanku tadi, Leonardo. Aku benar-benar menyesal untuk mengatakan itu, tidak ada maksut bahwa aku telah lupa dari kata-katamu pada waktu itu" "Sudahlah, Claudio. Tidak apa-apa, setidaknya aku telah meyakinkanmu untuk yakin pada waktu" 
Kata-katanya begitu rendah, nasihat yang menyakitkan tapi sangat mendalam dan akan selalu teringat, ini adalah nasihat yang pertama kali masuk dalam otak sekaligus terkunci di dalamnya. Aku berjanji kepadanya untuk tidak melupakan kata-katanya, setidaknya hal ini membuat mulutnya sedikit tersenyum. Setelah angkat kaki dari istananya aku menuju tabib setempat untuk mencari beberapa obat penghilang rasa sakit, atau apapun itu yang mampu membantu wanita yang sedang menunggu, meskipun aku tak tau.

Penerapan menyayangi waktu akan aku lakukan dalam hal mencari tabib kali ini. Aku bertanya kepada pasukan templar setempat yang sedang melakukan patroli mengatakan, sudah sangat sedikit tabib yang ada di Firenze semenjak pendeta setempat mengira para tabiblah yang menyebabkan kasus black death disalah satu bagian dari Italia, namun saat tabib terbukti bahwa tabib tidak bersalah, sudah banyak tabib yang terbunuh karena eksekusi yang seharusnya tidak diberikan kepada mereka. Tapi dikatakan bahwa aku masih bisa menemukan beberapa tabib yang lolos dari inspeksi awal, dan membuka praktiknya tidak jauh dari sini.
Dan memang benar aku langsung menemukan tabib yang dibicarakan para penjaga pendeta tersebut. Bagaimana tidak, banyak orang dengan berbagai luka berlalu-lalang didepan rumah dengan tulisan besar tertera di atas rumahnya ; Medico.
"Salve, dottore" "Silahkan masuk, ada yang bisa saya bantu?" 
"Aku mencari ramuan atau perban dengan rempah obat-obatan yang bisa meredakan lebam disekitar tangan dan punggung, apa kau bisa meramukanya untukku?" kupercepat hingga tidak ada basa-basi dalam permintaanku kali ini, waktu terus mengalir, matahari terus tergelincir dengan cepat"
 "Mudah saja, tiga menit" Aku melihat tabib ini mengambil 3 siung bawang putih, dengan siraman madu. Cukup dengan menghancurkanya dan memasukanya kepada botol kaca berwarna hijau. "Siramkan ini pada perban yang ingin kau gunakan, jangan sampai ada yang terbuang, madu sangat mahal" "Baiklah dengan hal itu, berapa biayanya?" "Aku baru menemui mu untuk yang pertama kali pada hari ini, meskipun sepertinya aku pernah melihat wajah sepertimu, beruntunglah bagimu aku merasa kau hanyalah orang baru, mungkin pikirku hanya sebuah Deja Vu, dan beruntunglah sekali lagi, setiap pelanggan yang pertama kali kepadaku, semuanya adalah gratis. Arrivederci, ciao!"
Jujur saja aku kaget, senang, dan kaget. Dia mengatakan salam perpisahan dan kembali menuju tempat kerjanya dengan cepat. Ah sudahlah tidak ada waktu untuk memikirkan tabib itu. Aku langsung berlari kembali menuju rumah Leonardo.

Tuesday, June 25, 2013

Fear The Promise part four


Cinta, itu ilusi. Tertawakan mereka yang termakan ilusi.

PART FOUR : a Question about a smile
Florence, Italy. 1476
Day 4th

Aku merasa seorang kikir yang selalu ingat akan kehilangan hartanya. Tapi kau ingin fakta? aku bukanlah orang yang kaya. Orang yang tidak kaya tidak bisa kikir. Aku hanya terlalu banyak memikirkan tentang uangku yang sekarang. Secara harfiah itu bukan uangku, ya meskipun itu telah berpindah tangan karena seorang pencuri bangsat pazzo di merda itu. Aku tidak bisa membenci pencuri itu, aku tidak bisa membenci seseorang. Kau tau, seperti bawaan keturunan. Bahkan ayahku yang telah di fitnah karena tidur dengan wanita lainpun tidak mengucapkan satu kata umpatanpun kepada penuduhnya. Dan untukku, aku hanya ingin uangku di kembalikan. Ini memberikan rasa takut untukku. Rasa takut yang muncul saat kau berada didaerah yang asing tapi kau tidak membawa bekal untuk perjalananmu, dalam hal ini uangku. Aku tidak akan memelas kasih kepada pak tua pemilik istal ini untuk memberikanku beberapa florins, tapi mungkin aku bisa tau dimana aku bisa mendapatkan beberapa uang dengan bertanya kepadanya.
"Mi scusi, signore (excusme, mister)Apa kau tau sebuah tempat dikota ini dimana aku bisa mendapatkan uang? Maksutku, sebuah pekerjaan"
"Certamente! (absolutely!) Pergilah kembali kearah jembatan ditempat kamu menemukan gadis ini, berjalanlah lurus searah jalan setapak" 
"Tapi Pak Tua, itu adalah jalanku tadi. Apa kau menyuruhku untuk kembali kekota?" 
 "Hahaha tentu saja! Hanya orang tanpa nyawa yang tidak mendapatkan uang dikota besar seperti itu. Tapi apa kau yakin ingin kembali secepat itu?"
Pertanyaanya benar-benar memutar otakku untuk berfikir tentang nasib wanita ini, dan aku memiliki jawaban yang menurutku cukup baik. "Aku akan pergi mencari uang untuk membantu wanita ini, barangkali dia membutuhkan obat. Jadi aku harus mencari uang untuk itu meskipun aku harus menjadi cazzo (dirt).
"Kau cukup baik untuk seorang laki-laki. Maafkan aku karena tidak bisa membantu, tapi yang jelas aku punya tempat naungan, yang tentu saja tidak lebih nyaman dari ... -" "Sudahlah Pak Tua, ini tentu lebih dari cukup" potongku.
"Kau benar-benar orang yang baik anak muda, siapa namamu?"
"Claudio, Claudio Federico"
"Hei.... jangan bilang kau saudara dari laki-laki bangsat itu? Si ragazzo fortunato (lucky man) itu?" Orang tua itu bertanya seolah-olah seluruh dosa anak itu ditimpakan kepadaku. "Si, mohon maaf denganmu Pak Tua, tapi apa ada sesuatu yang membuatmu mengatakan bahwa adikku seorang coglione ?" "Oh? Tentu saja ! Hahaha seluruh penjuru desa ingin membunuhnya sekarang karena iri denganya, dan semenjak saudaranya ada di kota ini, mungkin kami semua akan mengincarmu dulu hahaha!"
Tentu saja aku tidak mengerti maksut apa kata orang ini. Meracau dan berkata seolah tidak pernah ada kata-kata halus tercipta di dunia ini. Sebuah kata yang menandakan bahwa sekarang adalah suasana yang berbahaya memaksa tangan kananku meraih belati putih yang tersarung di sebelah kanan bajuku.
"Wow! Tenang dulu Anak Muda! Aku tidak bermaksut untuk benar-benar mencekikmu dan menusukmu dengan garpuku ini hahaha!" "Lalu, apa yang kau maksut dengan aku dan adikku menjadi buronan kota ini?" "Aku hanya bercanda, itu sebuah idiom. Secara harfiahnya kami semua memang terlalu cemburu melihat adikmu dapat bersama dengan perempuan itu, tapi kita masih memiliki akal sebagai manusia yang terpandang. Kami tidak mungkin bertengkar dan saling membunuh untuk memenuhi nafsu hewani kita. Kita orang Firenze tuan Federico!"
Aku bisa mengerti sekarang, kota ini serupa dengan kumpulan lebah. Hanya satu yang dinamakan royal jelly, dan yang akan memakanya akan menjadi ratu lebah. Memang sangat mewah dan menyenangkan, tapi tidak ada seekor lebahpun yang mampu memprotes hal itu. Kejadian alam memang hakim yang sangat bijaksana.
"Oh begitukah? Baiklah kalau begitu, aku bisa menyembunyikan nama keluargaku dulu untuk beberapa saat. Hmm baiklah, memulai dengan nama baru ... ." Kemudian pak tua itu menyela. "Bagaimana dengan tambahan de Firenze pada belakang namamu? Sekedar untuk menunjukkan bahwa kau benar-benar lahir di tanah ini" "Aku suka dengan nama itu, tapi aku kekurangan banyak identitas pada fisik yang menunjukkan bahwa aku sendiri seorang Firenze
Pak tua itu berpikir sejenak dengan memegang dagunya dan mendaratkan badanya pada sebuah pilar penyangga istal kudanya, meskipun aku yakin pilar itu bahkan takkan mampu menyangga setengah berat badan pak tua ini. Kau pernah melihat kayu yang telah dibakar? Itu lebih baik daripada gambaran tentang pilar ini.
"Mungkin kau hanya perlu ... Tunggu sebentar, aku akan kembali". Pak tua itu kembali ke dalam rumahnya, untuk mengambil sesuatu aku pikir. Kulihat kembali keadaan wanita yang sedang tertidur ini. Banyak yang mengatakan bahwa wanita Firenze itu lemah, hidung yang terlalu mancung dengan mata yang gelap, dan setelah aku memandang wanita ini patah sudah fakta-mitos tentang kondisi kota ini.
Aku berkata pada diriku "Mungkin satu helaian tak akan berlebihan". Aku belai rambutnya yang indah. Coklat kemerahan, warna karamel pada gula yang sudah matang. Masih belum ada reaksi yang menunjukkan bahwa wanita sudah memulihkan dirinya dari trauma yang telah terjadi. Ini membuatku tersenyum, entah hal apa yang membuat diriku merasa mengantuk. Kurebahkan sandaran hidup ini pada tumpukkan jerami, dan hampir saja saat aku akan menjemput kenikmatan duniawi ku kembali, suara keras datang dari depanku. Oh Pak Tua ...
"Claudio! Claudio! Aku temukan barangnya! Kesinilah sebentar, kau pasti akan menyukainya!" 
Aku berdiri lagi, berjalan gontai dengan menundukkan kepala ke arah suara tersebut. Memang kondisiku kurasa sudah fit saat aku mengatakan akan pergi ke kota untuk mencari beberapa obat, tapi seketika hilang lagi setelah aku HANYA membelai rambutnya. Tetapi apa ini sebuah rasa lelah? Atau suatu hal yang belum pernah kurasakan. Aku mengantuk memang, tapi di dalam tubuh ini ada yang sedang semangat melakukan sesuatu. Jantungku, degupnya sangat tidak biasa.
"Apa yang telah kau temukan Pak Tua? Sebuah gaun khas atau ... sebuah sepatu?". "Ya! Sebuah sepatu! Lihatlah kakimu, mengganakan sandal dari kayu tua yang jelek. Lebih jelek daripada wajahku ini hahaha".
Aku tertawa sedikit, jujur saja ini sebuah kekecewaan. Kukira sebuah gaun khusus atau topi bulat yang dibuat sedikit miring dengan indah, atau hal serupa yang menunjukkan aku seorang yang berada. Meskipun begitu aku siap untuk berangkat sekarang.

Kurang dari selangkah aku melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, kutengok sebelah kananku tempat wanita itu tertidur. Sedikit ku ingat tentang belaianku kepadanya, dan itu membuatku tersenyum. Aku tak punya apapun, tak punya bukti dan pengetahuan apapun tentang hal yang menyebabkan aku tersenyum, tapi aku tau itu indah.

Sunday, June 23, 2013

Fear The Promise part three


Kehilangan adalah kehidupan.


PART THREE : an Inference 
Florence, Italy. 1476
Day Three




Sehelai daun tak akan membenci angin yang telah membuatnya terjatuh diatas tanah yang membuat dirinya tak berguna. Sebagaimana aku yang seharusnya tidak membenci seseorang yang telah membuatku terpuruk pada suatu kondisi sehingga aku mengira tidak ada tempat lagi untukku. Aku hanya mengalami nasib buruk -uangku hilang. Ya, sebuah pencurian.

Aku tak sadar saat aku berdesak-desakan dengan masyarakat disini, seseorang telah memotong tali pada dompetku. Bodohnya aku yang baru saja sadar saat ingin membeli sebuah topi -karena sebelumnya aku ingin membaur dengan rakyat disini, sebagian besar mereka memakai topi dengan sebuah bulu di atasnya- dengan berat hati aku tinggalkan tempat mewah ini, renungan disebuah sisi sungai mungkin lebih baik. Ayahku selalu berkata, jika kau punya pikiran yang jenuh, pergilah ke sebuah sungai. Meski aku tidak pernah mengerti apa maksut perkataanya, tapi seseorang yang bijak adalah dia, hidup penuh dengan pengalaman. Lelaki tua yang jenius.

Sampailah aku disebuah sungai yang dangkal, namun cukup luas. Bahkan saking dangkalnya ikanpun bisa terlihat didalamnya, menikmati air yang segar selagi belum di injaki oleh kaki-kaki pencari ikan setempat. Merenungi apa yang telah Leonardo katakan, aku seperti ingin memukul ubun-ubunku sendiri dengan batu, sudah berapa lama aku membuang-buang waktu. Tapi aku juga ingin membela diriku sendiri, karena waktu yang telah terbuang juga bukan dari maksutku sendiri. Ah, sudahlah. Menyalahkan diri sendiri itu bodoh, untuk saat ini akupun tidak menangkap apa fungsinya menghampiri sungai ini untuk merenung, malah ini hanya buang-buang waktu. Saat tangan kiriku menopang badanku untuk berdiri, sebuah hentakan keras terdengar dari atas jembatan. Seperti sebuah suara benda yang keras membentur lantai batu. Sebuah keinginan untuk mencari tau asal darimana suaranya, entahlah... hal semacam ini seperti refleks menurutku.

Pikiran pertama yang ada dibenak, benda itu pasti keras dan berat, tergambarkan oleh suara benturan yang keras tadi. Jika bisa di gambarkan bagaikan melempar sebongkah batu berat sebesar meriam tepat keatas lantai batu. Pikiran kedua mungkin tidak cukup satu tenaga pemuda umur 25 tahun seperti aku ini cukup kuat untuk mengangkat benda ini. Dan pikiran ketiga baru saja aku sadari saat aku hampir sampai ditempat jatuhnya perkara dan sangat aku sesali, aku sadar hanya ada aku disini, tidak ada orang lain. Tapi hanya sepersekian detik, sebuah fakta didepan mata bisa menghapus pemikiran-pemikiranku tadi. Seorang wanita tergeletak jatuh disana. Dan untuk memperburuk keadaanku kini, perempuan itu pingsan. Dari situasi yang terlihat sepertinya wanita ini terjatuh dari kudanya, entah karena mabuk, sakit atau terlalu lelah, yang jelas wanita ini butuh pertolongan. Dari badanya tidak terlihat adanya cucuran darah sedikitpun, namun aku menemui beberapa cidera berupa lebam yang membiru seperti warna sendu di langit hari ini. Tak usah berpikir panjang, langsung kusenderkan badanya pada samping jembatan. Kuambil beberapa percik air dari sungai untuk membasuh wajahnya, dengan tangan yang gemetaran karena lagi-lagi pikiran yang aneh datang kembali. Ini merupakan pengalaman pertamaku menyentuh perempuan selain ibuku dan saudariku dirumah. Canggung, jelas. Tapi canggung ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekhawatiranku yang sekarang ini, takut dia tidak akan bangun. Tolong bangunlah, siapapun dirimu.

Cukup sudah! aku tidak akan mengambil resiko yang lebih tinggi, aku akan membawanya ke pemukiman terdekat, dan kurasa itu tidak sebegitu jauh dari sini. Kugendong badanya dan berlari seakan-akan ada ribuan templar dibelakangku sedang mengejarku karena mencuri pedang mereka. Semoga pengorbanan ini tidak sia-sia akhirnya.

Di waktu yang tepat sebelum aku kehilangan udara, aku melihat sebuah istal kuda, harfiahnya, meskipun tidak seekor kudapun terdapat disana. Yang seharusnya aku melihat seekor kuda didalam sebuah istal, malah terlihat seorang pak tua dengan garpu besarnya yang sedang merapikan bekas jerami disana. Sesaat dia melihat kepadaku, dan sepertinya dia mengerti kondisiku yang sekarang, terlihat dia berlari menuju rumahnya dan kembali membawakan semangkuk air dan handuk.


"Letakkan saja dia dijerami itu! Mungkin cukup nyaman sebagai tempat beristirahat untuknya. Duduklah dulu anak muda, kau seperti laki-laki yang telah lama lupa tentang cara bernafas" Terlihat caranya berbicara sepertinya dia sedang bergegas, atau khawatir tentang sesuatu. Suatu hal yang tidak ingin kudengar adalah kabar buruk mengenai kondisi wanita ini. Mungkin jika kau jadi aku sekarang, kau mungkin akan berfikir, hal buruk seperti ini sangat tidak layak dan adil terjadi pada wanita secantik ini. 
"Grazie ...! Mister, apakah kau mengenali wanita ini? Dia golongan bangsawan bukan?" Aku bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi,.
 "Dari gaun yang ia genakan, aku yakin iya. Tapi aku bingung hal apa yang membuat dirinya pergi ke tempat perdesaan seperti ini. Sebenarnya apa yang dia cari?"
"Maafkan aku Pak Tua, tapi sepertinya jawabanku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, bahkan aku tidak mempunyai jawaban untuk itu. Yang kutau aku sudah melihat perempuan ini tergeletak jatuh ditepi jembatan, aku punya sedikit pilihan untuk itu, dan resiko yang banyak."
Sambil duduk jongkok melihat kondisi wanita itu, dia menjawab "Oh yasudahlah, kau juga boleh istirahat disini. Silahkan cari tempat yang menurutmu nyaman, tapi senyaman-nyamanya gubukku ini lebih nyaman hidup dilubang tikus"
Duduk dalam posisi rileks adalah surga sementara bagiku. Mungkin saking lelahntya kakiku sudah tidak bisa di gerakkan lagi. Terlalu manja? cobalah mengangkat seseorang dengan membawa tas yang beratnya sama setengah dari beratmu. Tapi betul juga, tas ini sudah terlalu berat dengan hal-hal yang mungkin sama tidak bergunanya dengan berteriak kepada orang tuli.

Saat hampir saja mata ini tertutup untuk kenikmatan tertinggi dari hidup, muncul suara dari bibir wanita itu. Namun sesaat setelah dia mengucapkan kata itu, dia kembali tertidur, terlelap dalam mimpi maya yang membantunya pulih kembali. Dan aku? terimakasih untuknya, mataku tidak bisa tertutup kembali. Seolah-olah tubuhku dan kejadian hidup ini melakukan hal  yang tidak ingin kuinginkan. Pertama dompetku yang hilang, kedua kejadian disamping sungai yang mengherankan. Dan yang ketiga aku tidak bisa tidur dan istirahat dimana seumur hidupku ini adalah saat yang paling aku butuhkan. Tapi sudahlah ... kehidupan.

-to be continued-

Wednesday, May 8, 2013

Fear The Promise part two


Pertemuan yang akan mengubah segalanya.

PART TWO : The Brief Encounter
Florence, Italy. 1476
Day Two


Sudah kuputuskan untuk segera mencari informasi lain, tentunya berada di tempat yang berbeda. Kuucapkan salam sebagai tanda perpisahan kepada pelayan itu setelah dia bercerita panjang lebar tentang Andrea, adikku. Meskipun aku ingin tau lebih lanjut dengan ceritanya, tapi aku bukanlah seorang tukang introgasi, aku takut namaku tercemar karena itu. Ya... meskipun aku sudah cukup akrab denganya, tapi bukankah mencari informasi hanya dari sumber yang sama adalah hal yang kurang baik. Mau tidak mau harus ada seseorang lagi di kota ini yang ingin berbagi cerita denganku. Tapi aku sempat tertawa dalam benak, mau bertanya pada siapa ? Kota inipun sangat aneh, sangat tidak aku kenal. Bahkan bau debu di jalanan sangat asing. Aku pikir cukup setelah aku bertemu adikku, aku akan segera pergi dari sini.


Kutemukan sebuah plaza, tapi bukan seperti plaza, mungkin lebih tepat jika di panggil sebuah alun-alun kota. Tempatnya luas dan berbentuk persegi. Pada pinggiranya terdapat beberapa stan untuk para pedagang-pedagang furniture serta kain-kain mahal, karpet, makananpun ada. Terlihat juga beberapa bangku untuk duduk disekitar sini. Banyak orang berkumpul ditempat ini. Selintas kudapati melihat beberapa orang membelah roti-roti bekas mereka, untuk diberikan kepada burung-burung merpati Firenze. Beberapa orang lainya menikmati alunan musik seorang musisi jalanan. Sejenak terlihat damai disana, apa salahnya untuk duduk sebentar dan mengamati serta menikmati keadaan sekitar? Dan  mencoba meniru perilaku masyarakat Firenze sepertinya menyenangkan.

Setelah beberapa saat aku duduk di sebuah bangku, ada seorang laki-laki dengan baju rapi terlihat mendatangiku, dan aku berpikir dia datang untuk duduk dibangku yang sedang ku duduki ini. Otomatis aku menggeser badanku untuk memberikan tempat duduk yang lebih luas baginya. Beberapa saat terdiam, orang ini memulai pembicaraan terlebih dahulu.

"Buon' giorno ... Hari yang indah, bukan begitu temanku?" kata orang itu.
"Selamat pagi juga tuan ..." Sejenak terputus kalimatku, karena aku masih agak merasa canggung dengan orang asing. Ya...meskipun akhirnya akan akrab. Tapi kecanggunganku ini tidak boleh berlangsung lama, jadi langsung kulanjutkan percakapan yang putus ini. " Sedang jalan-jalan pagi, Tuan?" 
"Tentu saja, tidak akan ada manusia yang ingin melewati damai pagi di Firenze. Permisi tuan, caffè?" Orang ini menawarkan segelas kopi yang tidak aku perhatikan saat aku melihatnya berjalan menuju tempat duduk ini tadi. 
"Oh? Terimakasih banyak tuan." Aku langsung mencicipi kopi pahit ini. Membakar ujung bibirku karena kebodohanku sendiri. Panas, sekali. Tapi degup jantungku menjadi semakin kencang, fungsi kerja kopi ini sangat cepat. Ini tentu kopi mahal. 
"Langsung merasakan efeknya, Tuan? Haha, itu adalah kopi terkenal disini.. Tidak ada seorang priapun melewatkan segelas kopi pada pagi hari di Firenze. Dan kau telah melewatinya, Tuan. Katakanlah, apakah kau orang luar?" Kata-kata yang dia ucapkan seperti seorang bangsawan, bernada rendah namun tegas, punya wibawa. Dari pakaianya terlihat dia seorang seniman.
"Tebakanmu tidak meleset sama sekali tuan, iya memang benar saya berasal dari luar. Saya datang dari sebelah tenggara Italia, Rep.Genoa."  "Jadi kau seorang pengelana?" tanya orang ini. "Iya, mungkin bisa di katakan begitu tuan. Tapi sebenarnya saya hanya mencari seseorang di kota ini." Aku jawab dengan jawaban dengan nada datar, namun orang ini malah tertawa. "Hahahaha ...!! Kau tau peribahasa mencari jarum pada tumpukan jerami? Selamat datang di dalamnya, amico!"    
 Jujur saja aku merasa tersinggung dengan perkataan orang ini, tapi perkataanya membuat ironi dalam benak, dia benar. Bingung dengan perkataan apa yang seharusnya aku balas, tapi aku hanya meminta maaf, permintaan maaf tanda malu, malu yang sangat dalam.
"Jangan meminta maaf teman, anggap saja itu sebuah nasihat. Kau perlu cara untuk itu. Bukan dengan melawanya secara langsung, ikuti alur kehidupan yang sedang terjadi, melalui itu pilihlah jalan yang terbaik. Karena jika kau melawanya, kau tidak akan bertahan lama. Kau perlu belajar dari beberapa fenomena alam, anak muda. Hmm ... mungkin dari aliran air pada sungai kau akan belajar. Alam adalah buku yang tak berhingga." Dia berhenti untuk menengguk kopinya. Lalu orang ini mungkin merasa kepanasan seperti aku tadi karena ia terlihat kaget dan mengipas-ngipas mulutnya, dan berkata kata "panas" dalam bahasa Italia beberapa kali, jujur saja itu menggelikan dan aku hampir ketawa. Meskipun orang ini adalah asli kota ini tapi tetap saja tidak terbiasa dengan panasnya kopi itu. Namun setelah itu, dia berkata beberapa hal yang sedemikian brilliant :
"Listen to this, young man. In rivers, the water that you touch is the last of what has passed and the first of that which comes; so with present time. Don't waste your time."
-Dengarkan ini, anak muda. Di sungai, air yang kau sentuh adalah yang terakhir dari yang telah terlewati, dan yang pertama dari yang datang, sama dengan waktu,. Jangan kau sia-siakan waktumu-
 Setelah memberikan perkataan itu, dia berdiri dan membungkukkan badanya terhadapku. Aku rasa itu adalah sebuah rasa penghormatan, tapi untuk apa? Masih belum jelas. Tanpa kata dia agak berjalan menjauh dan dia berkata sesuatu.
"Perkenalkan, Leonardo. Leonardo Da Vinci
Dia berjalan mundur dan mundur hingga hilang dalam kerumunan ramainya masyarakat Firenze. Memahami kata-katanya sangat mengenai situasiku yang sekarang, aku harus tetap melanjutkan pencarian ini. Karena waktu, akan mengalir.
Dan pertemuan singkat ini adalah pertemuan yang paling hebat dan singkat, yang pernah kualami. Karena cukup dengan satu kalimatnya, seakan-akan menyalakan lagi tujuan awalku.

Grazie, Leonardo.


-To be continued-

*nb : Dalam era ini seorang Leonardo Da Vinci belumlah dikenal sebagai orang yang terkenal, beliau hanya di kenal sebagai  seorang seniman dan arsitek. 




Thursday, May 2, 2013

Fear the Promise part one

Tugas adalah tugas. Selesaikan dan tuntaskan

PART ONE : The Quest
Florence, Italy. 1476
Day one





Obor berpendar memecik tinggi di masing-masing bekas menara pengawas kerajaan setempat, terlihat dari pelabuhan tempat awal aku berdiri di tempat yang menurutku masih asing. Bukan hal yang jarang di temui jika kau sekarang berada disini. Mencakar langit di menara Palazzo Vecchio, sedikit lampion yang nyala pada pagi hari ini, mungkin ada sesuatu yang terlewatkan sehingga mereka lupa menyalakanya. Mungkin penduduk di tempat ini suka dengan kehidupan yang sedemikian rupa. Kalau bisa aku gambarkan ini seperti kota besar yang mati. Tapi ini bukanlah sebuah cerita tentang sebuah kota hantu, ataupun castil menyeramkan, kamu akan mengerti dan akan berpikir, kau akan takut terhadap sebuah janji.

Ayahku seorang petani, dari Siena aku di perintah untuk menemui saudaraku, katanya untuk sebuah pekerjaan. Beliau yakin aku mungkin bisa menjadi seorang penting disini, mungkin seorang Don, siapa sangka. Pertama kali aku mendaratkan kaki di dermaga aku di sambut oleh seorang perempuan, tengik bau mulutnya, tak salah lagi itu bau bawang putih.
"Hai.. orang baru?"
"Begitulah," aku ingin menanyai tentang banyak hal tapi wanita ini membuatku takut. Tidak semestinya seorang laki-laki mengalami hal ini, tapi percayalah kau pasti akan takut dengan orang ini. Aku melihat kantong uangku, dan meyakinkan diri untuk tetap bisa menjaga titipan dari ayahku ini. 
"Jangan terburu-buru, apakah kau mencari seseorang ? Aku kenal tiap orang dikota ini, bahkan aku kenal hingga tikus-tikus jalanan disini," kata wanita itu dengan sedikit terhuyung-huyung, aku rasa dia mabuk.
"Sebenarnya aku mencari seseorang bernama Andrea. Andrea Federico, apa kau mengenalnya ?" 
"Oh! si Pria beruntung itu? Tentu aku mengenalnya, siapa yang tidak? Kalau kau ingin menemuinya segeralah menuju bar terdekat, kau akan terkejut, anak muda." 
Dengan memberikan senyuman dan ucapan terimakasih aku berpaling dari wanita ini, mungkin aku salah menilai seseorang hanya dengan melihatnya, namun aku menilai wanita ini dari bau nafasnya. Penilaian model baru mungkin. Optimis untuk hal ini, cara jalanku berubah dengan sedikit lebih cepat dan lebih lebar dalam melangkah. Tapi perkataanya yang mengatakan adikku adalah sebuah pria yang beruntung membuatku bingung. Memang masih belum jelas apa artinya, sudah ada 100 spekulasi di dalam benakku apa yang telah adikku lakukan.


Tak jauh dari tempat awal, aku temukan sebuah bar kecil dengan warna cat yang hangat, mungkin orang disini suka dengan minum-minum, sosialisasi dan bisnis, terlihat dari desain kota yang memiliki banyak alun-alun dengan beberapa plaza, terlihat terdapat beberapa meja dari sisa pasar kemarin, mungkin. Aku tak pernah masuk tempat seperti ini sebelunya, aku orang yang baik dan selama hidupku hampir tidak pernah setenggukpun meminum ale itu. Kubuka pintunya, dengan pandangan pertama langsung tertuju pada sebuah meja bundar yang besar dengan beberapa kartu di atasnya. Aneh, suasana yang sepi. Bahkan mungkin lebih banyak pegawai yang sedang membersihkan gelas dengan kain lap daripada pelanggan yang masuk.

"Benvenuto, silahkan pesan disini, maestro." Pegawai yang ramah berkata demikian. Ini adalah kalimat pertamaku saat aku pertama kali memasuki sebuah bar. Ternyata, meleset dari dugaanku yang sebelumnya. 
"Terimakasih tuan, tapi saya kesini untuk mencari seseorang bernama Andrea. Seseorang yang saya temui berkata bahwa saya bisa menemukan orang itu disini, benarkah itu?" Mulutku berkata tanpa berpikir, bahwa masuk ke sebuah bar tanpa memesan sesuatu adalah hal yang tidak sopan. Tapi perkataan, tidak akan bisa kembali. Stupido, ho stupidomente.
"Haha! Itu sangat cepat kawan! Tapi ... memang benar. Andrea sering sekali kesini, mungkin bisa di katakan ini layaknya rumah baginya." Perkataan orang ini, membuatku lebih yakin lagi bahwa masyarakat disini sangat ramah. Dan dengan perkataan demikian orang ini menyulapku untuk menjadi lebih akrab denganya.
 "Oh...begitukah? Menurutmu apakah dia akan kemari pagi ini?" aku berkata sambil melihat sebuah menu makanan di belakang orang ini "Maafkan saya tuan, tapi bolehkah saya memesan makanan seperti yang tergambar di papan itu?" Ku arahkan jari telunjukku sebagai tanda aku sangat tertarik. Harus kuakui, aku sangat lapar. Naik kapal selama 4 jam benar-benar membuatku lapar.
 "Kau ingin menemuinya? Tentu saja kau akan menemuinya, tidak disini, tidak dirumahnya, tapi kau akan bertemu denganya di jalanan. Dia akan melakukan sebuah parade. Tapi mungkin parade itu tidak dibuat olehnya, sebuah perayaan yang jarang sekali, dan cukup menggelitik. Oh! Kau lapar, pemuda? tunggu beberapa menit, dan yakinlah apa yang kau pesan ini, tidak akan pernah kau sesali. Pasta pancetta con verdure akan segera datang ..."
 Jujur saja aku bingung, apa maksud orang ini. Tapi mungkin aku butuh mengistirahatkan pikiranku sejenak, membayangkan daging dengan pasta serta beberapa benda hijau di atasnya membuatku rileks, yang jelas aku punya beberapa pertanyaan untuk orang ini.

"Permisi kawan, ini dia pesananmu. Bon appetito." 
"Grazie, tapi kawan bolehkah aku menanyakan sesuatu?"  
Orang ini sudah menuju kearah dapur, namun berbalik. "Ya, apapun itu teman. Tanyakan tentang apa yang kau belum tau tentang kota ini, makanan terbaik, anggur yang mahal dan-"  
Aku menyela perkataanya. " Ini tentang Andrea, sebenarnya dia adalah saudaraku. Lebih tepatnya adikku. Aku hanya ingin tau, sebenarnya apa yang terjadi denganya? Soal parade dan sebagainya, apa yang terjadi?"
"Hmm seharusnya aku tidak terkejut mendengar hal ini, kau memiliki beberapa kesamaan yang persis denganya. Tapi itu tidak penting ... " Dia memutus pembicaraanya dengan menengguk segelas air, sepertinya dia akan bercerita tentang banyak hal. "Di kota ini terdapat seorang wanita, malaikat, idaman, apapun itu yang menggambarkan keindahan pada dirinya. Laki-laki seantero kota ini memiliki mimpi untuk menjadi suaminya. Bukanya tidak ada yang mencoba melamarnya, untuk menghitung sudah berapa orang yang gagal hanya membuatku lelah, malah kami mengira wanita itu tidak ingin menikah karena terlalu kagum dengan dirinya sendiri. Tapi teman, adikmu telah membuat gempar seluruh kaum laki-laki di kota ini! Hahahaha!" 


-to be continued-