Monday, July 15, 2013

Fear the Promise part six



Sesuatu untuk dibebaskan, dipelajari dan dilakukan.

PART SIX : an Ironical Beauty
Florence, Italy. 1476
Day unknown

Sebuah rumah dengan beberapa kilatan misterius sudah terlihat di depan. Berupa lampu pendar yang belum pernah kulihat sebelumnya, mungkin penemuanya yang baru, mungkin. Sangkar burung dengan berbagai ukuran juga terlihat tergeletak disana, dengan rapi dengan isi yang masih ada ; burung. Aku sudah mendapatkan apa yang aku cari, hemat waktu adalah bijaksana, jadi langsung saja aku masuk ke rumahnya, meskipun agak canggung awalnya, tatapan mata selalu kebawah dikarenakan tatapan orang-orang disini. Ya, sudah sangat ramai disini.
Beberapa orang membawa sangkar mewah dengan tangkapan yang sama nilainya dengan harga sangkar tersebut. Membuang-buang uang? Tentu saja untuk mereka, bukan untuknya. Dan tentu saja aku malu, aku bahkan tidak membawa tangkapanku.
Beberapa menitpun lewat, akhirnya aku menemukan sendiri tangkapanku. Bukan  seekor burung, tapi tentu saja messer Leonardo.

"Tuan Leonardo?" Aku seraya memanggilnya meskipun harfiahnya itu sebuah kata tanya-umum di kalangan masyarakat yang agak samar jika masih sarang menemui orang tersebut.
"Oh! Cepat sekali? Dengan apa kau pergi? Kurasa kaki manusia tidak akan secepat itu untuk berjalan, kecuali kau berlari dengan tenaga kuda pada otot betismu itu, hahaha."
"Tidak ada yang perlu dipertanyakan pada kaki kudaku ini Leonardo, hahaha." Aku melanjutkan humornya, meskipun aku ingin segera tau kenapa Leonardo mengajakku menemuinya kembali.
"Kaki kuda? Kau bisa menarik gerobakku untuk lain hari kalau begitu mister Claudio, hahaha! Oh ya, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu," Dengan menepuk pundakku, dia mengisyaratkan untuk pergi keatas dengan menunjukkan tempatnya dengan telunjuknya, sebuah ruangan lantai tiga, sebuah balkon. 
Sesuatu yang akan dilakukan orang ini akan selalu menjadi sebuah daya tarik ilmu pengetahuan dan seni, namun aku antara tidak sabar dan tidak punya waktu untuk sesuatu yang butuh dipikirkan, mungkin 'bersegera' adalah nama tengahku sekarang, mengingat ada wanita yang masih terluka di rumah pak tua itu.

Sesaat sebelum dia mengangkat kakinya untuk menginjakkan di tangga menuju lantai tiga, dia mengatakan sesuatu kepadaku.
"Apakah kau penyayang binatang tuan?" 
Pertanyaan yang tidak terduga mudah dijawab, tapi sekedar menjawab tanpa bisa berpikir revolusioner tentang bagaimanakah jawaban itu akan bertanggung jawab di kemudian hari.
"Tentu saja, siapa yang tidak mencintai binatang?" Kuteruskan perbincanganku yang masih saja tanpa akal dan pikiran untuk pertanggung jawaban tersebut, sebuah dosa manusia.
"Senang mendengarnya, karena aku merasa takut bahwa kau mungkin seorang yang masa bodoh dengan makhluk ciptaan-Nya selain kita, manusia kotor dan bengis ini. Mungkin sebaliknya, mereka yang bersih dan suci, bukan kita."
Leonardo memberikan penjelasan yang masuk akal untuk membandingkan kita, manusia dengan makhluk tuhan lainya, sebagai contoh adalah hewan, dan dalam kasus ini mungkin yang dimaksut adalah burung.
"Bagaimana jika aku memberikan kau seekor ini, Tuan?" Leonardo melanjutkan, dengan memberikan sebuah sangkar dengan sebuah hewan terbang di dalamnya, seekor burung Pigeon!.
Berupa harta benda yang sangat mewah jika kau mempunyai seekor burung yang mampu membantumu untuk mengkabarkan keadaanmu yang sekarang kepada keluarga dirumah, tentunya dengan beberapa bantuan dan pelatihan lebih lanjut. Tapi, ini merupakan hal yang benar-benar istimewa bagiku. Hanya orang-orang yang berkepentinganlah yang seharusnya punya makhluk terhormat seperti ini, tidak dengan tikus melarat seperti aku.
Leonardo membawakan sangkar kecil dengan rusuk-rusuk kayu berwarna emas itu dan menyerahkanya kepadaku, tetapi tiba-tiba dia membuka sebuah pintu kecil yang terletak tepat di bagian samping sangkar itu, dan tidak sampai aku menghitung hingga lima, sudah tinggal bulu yang tertinggal dalam sangkar tersebut. Hilang dalam malam dan langit.
"Leo! Apa yang kau lakukan?" Suaraku menyeruak dengan menahan keheranan. Heran atas perilaku Leonardo yang semakin hari semakin aneh, aku sendiri kebingungan untuk mengatasi kejeniusanya ini.
Tidak ada jawaban, dia hanya menunjukkan jari telunjuknya keatas langit gelap dimana burung itu terbang, sambil tersenyum dia mengangguk dan mengelus-elus dagunya, mengambil catatanya dan menghembuskan nafas kelegaan, seolah-olah dia mendapatkan sesuatu dari kejadian ini.
"Kau berkata kau adalah seorang penyayang binatang, bukan begitu mister Claudio? Ini adalah salah satu hobiku, melepaskan burung hasil tangkapan orang lain, lalu melihatnya bebas terbang di angkasa sembari mengamati bagaimana cara makhluk indah ini terbang, bukankah ini sebuah keindahan yang rumit, temanku?" Dia mengatakan perkataan yang cukup panjang untuk menjelaskan apa yang dia lakukan. Hal yang cukup menjelaskan semuanya. Ternyata untuk hal yang sedemikian sederhana, namun begitu nikmat untuk dinikmati, aku merasakanya sekarang, apa yang dimaksut oleh seorang gila ini. Tentunya, seorang gila yang jenius.
"Kau seorang gila yang jenius, Leonardo." "Ya, begitulah mereka biasanya memanggilku, tanpa bermaksut sombong kepadamu," Aku sedikit tersenyum menikmati keindahan sederhana ini, tidak pernah kurasakan sebelumnya kesempurnaan yang rumit dari keindahan yang bisa diperoleh dengan semudah ini. "... jadi Tuan Claudio, shall we?" Dia mengarahkanku kepada selusin lebih sangkar yang menunggu untuk dibukakan. Aku tersenyum tangis, masih banyak waktu untuk dinikmati. Masih ada.
Aku paham sekarang bagaimana manusia tidak mampu berpikir logis dan jernih dikarenakan masalah duniawi yang terlalu rumit, padahal terlalu banyak hal indah yang tertulis di bumi. Tidak perlu menjadi seseorang yang mempunyai otak seperti maniak sehingga mampu menghidupkan mayat, tidak perlu menjadi seorang kaya yang bisa membeli seantero pulau, dan tidak perlu menjadi seorang seniman yang mempunyai tangan magis yang bisa merubah apapun menjadi indah, kau hanya perlu kata syukur untuk kemampuan berpikirmu. Aku semakin sadar, seakan digoyahkan dengan kencang untuk bangun dan memulai untuk memikirkan seluruh hal yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, karena satu tetes hujan di tanah yang kering akan berpengaruh pada hidup ini.
Aku datang pada sangkar terakhirku, kini giliranku untuk melepaskan burung ini dalam sangkarnya, tapi kata Leonardo untuk mencapai keindahan sempurna, kau harus mencintai burung itu dahulu. Dia memberikanku seekor burung itu.
"Apa kau yakin tidak ingin melepaskan yang satu ini? Jujur saja aku lebih menikmati untuk melepaskan burung ini daripada kau memberikanya kepadaku." Jelasku untuk meyakinkan dia, bahwa aku lebih menikmati untuk melepaskan burung ini daripada memeliharanya.
"Tentu saja aku yakin. Simpanlah! Datanglah kepadaku ketika burung itu sudah bisa bersiul dengan sendirinya, tapi itu tentu saja memerlukan kerja keras darimu. Jadi, maukah kau menjaganya untukku?"
Aku sedikit ragu untuk menjawab hal ini, mengingat bahwa tujuanku adalah bukan untuk tinggal di kota ini dan bersenang-senang dengan apa yang ada di dalamnya. Tapi penawaran Leo selalu berupa rahasia jenius yang sudah dia pikirkan, aku tidak ingin melewatkan hal yang akan dia tunjukkan lagi kepadaku. Jadi aku menerimanya.
Kuucapkan salam dan tanda terimakasih kepadanya untuk segala hal yang telah diajarkan kepadaku. Sungguh, aku ingin menjadikanya sebagai guru alamku, yang akan mengajarkan hal kecil yang kelak akan menjadi hal besar di kemudian hari. Aku menapak lagi langkahku di lantai berbatu kota Fiorentina ini, kembali ke desa dengan sekantung obat-obatan dari tabib tadi dan sebuah sangkar burung, dan tentunya beberapa florins tersisa. Sudah tidak sabar aku untuk kembali menemui wanita yang terakhir kulihat dia sedang terlelap itu, ku bayangkan apa dia sudah bangun sekarang? Bagaimana kalau dia sudah sadar lalu begitu saja melarikan diri? Bagaimana kalau dia sudah tidak ada disana? Pikiran jahat terlalu banyak dan menganggu pikiranku sekarang, kupercepat langkahku untuk kembali ke desa, kembali padanya.

Wednesday, July 3, 2013

Fear the Promise part five


Sayangi, jangan kau lepas dan jangan kau tangkap.

PART FIVE : a Never ending walk
Florence, Italy. 1476
Day unknown

Melihat seseorang menangkap apa arti sebuah kata indah, begitu banyak arti dan filosofi yang dimaknai dari setiap manusia. Sebagai contoh saat aku tersenyum tanpa mengerti mengapa bisa begitu, aku hanya berpikir ini mungkin hal yang paling indah yang pernah dirasakan. Tapi ada rasa menjanggal yang menyandung, berteriak, dan menyeretku untuk seolah-olah mencari tau apa itu. Aku biarkan saja pertanyaan ini mengalir dalam langkah menuju pusat kota, mungkin semakin lama akan muncul dan terkuak sendiri dalam kepala, mungkin. Tentu saja aku tidak bisa membenci suara-suara kepala yang terus menanyakan apa yang terjadi barusan ini. Karena kita tidak bisa membenci atau menyukai sesuatu, tanpa mengerti dan mengetahui ada apa dengan hal itu. Kalau kau tidak, kau bodoh.

Terlihat juga akhirnya rumah yang terbuat dari batu, sejalan tadi tidak terlihat rumah yang pondasinya meyakinkan saya akan kuatnya menahan angin disini, ini pertanda bahwa kota sudah mulai dekat dari sini. Mengetahui hal itu, aku duduk sebentar di tepian jalan ; ada sebuah meja batu. Memang sepatutnya itu adalah meja dengan luas yang pastinya adalah meja, tapi ketinggian benda ini meyakinkan bahwa ini meja untuk duduk. Kutengok sebelah kiri tempat jalanku melintas tadi, sepi. Tidak ada seorangpun terlihat sepanjang setapak batu, bahkan kau sangat beruntung jika menemui hewan yang melintas lewat jalan itu, dan parahnya jalan ini terlihat sedikit mengerikan. Serasa ramai dengan kesepian. Ah sudahlah lupakan! Kutengok sebelah kanan di mana rumah berpondasi batu itu, ada sebuah papan pengumuman ditempel di tembok luarnya. Kupikir daripada tidak melakukan apa-apa seperti batu dengan pikiran, itu lebih baik, sedikit lebih baik. Kubaca beberapa tulisan, tidak semuanya penting, beberapa ada yang mencari binatangnya yang hilang, yang lain ada yang mencari pelukis untuk hal yang masih belum aku pahami. Tapi ada satu hal yang mengejutkanku, dan nama Leonardo tertera disana. Tertulis bahwa dia ingin membeli seluruh peliharaan masyarakat disini ; burung.

Ini merupakan kesempatanku untuk mendapatkan uang, sekaligus untuk bertemu Leo yang kedua kalinya. Orang itu benar-benar memiliki kharisma seorang penemu dengan seluruh kelebihan lagi dalam dirinya. Menunjukkan kecerdasanya mungkin dia mengetahui beberapa obat yang bisa aku beli di kota ini, tentunya untuk wanita yang ada di 'rumah' pak tua itu sekarang. Dan hal yang harus kulakukan sekarang adalah, mencari burung sebanyak-banyaknya, dan akan kumulai dari jalan setapak yang kulalui tadi. Tidak adanya orang yang terlihat di jalan setapak tadi adalah alasanku, tidak akan ada saingan di dalamnya.

5 jam berlalu, spekulasiku terlalu tinggi pada awal aku mulai mencari menyebabkan kebodohan yang benar-benar dalam. Benar-benar bodoh mengira menangkap burung akan semudah menangkap wanita gemuk yang sedang berlari. Seakan-akan aku lupa bahwa mereka bisa terbang! Cazzo! Sebagai hasilnya, nihil. Melihat memang melihat, ada memang ada, tapi dari jarak 10 meter saja mereka sudah berusaha untuk terbang. Mustahil untuk menangkap mereka kecuali aku memiliki refleks ular, racun kalajengking dan sayap elang, mustahil memang. Jadi ku urungkan niatku untuk menangkap beberapa burung, aku akan mengunjungi Leonardo dulu, dan berharap ini lebih baik.

Sampai kakiku di depan rumah tingkat, dengan arsitektur menyerupai bangunan yang ada di kampung halamanku dulu, aku merasa tidak asing. Tertulis di halamanya, bagi yang ingin menjual burung hasil tangkapan silahkan langsung masuk. Karena aku mempunyai urusan yang cukup sama dengan yang tertera pada papan di halamanya, aku langsung masuk saja.
"Salve Leonardo! Come va?" Suaraku menyeruak langsung seakan kami sudah berteman seabad lebih.
"Grande! Mate bene, tu? Hei kau bukanlah seorang tampan yang kutemui beberapa hari yang lalu?" Rupanya dia masih belum melupakan kejadian 'kopi panas' itu.
"Bene grazie, ya memang benar ini aku, Sebelumnya aku belum memperkenalkan namaku. Kenalkan, Claudio..." Aku sengaja memutuskan untuk tidak mengatakan nama akhiranku, jika iya, bisa jadi orang-orang disini sudah menyalamiku. Ya, benar. Disini ramai, banyak yang membawa sangkar burung dengan mereka ditambah berbagai warna dan jenis burung yang berbeda, aku merasa tertinggalkan.
"Claudio! Kalau begitu, benvenuto! (welcome)" "Trimakasih Leonardo, ini sangat menyenangkan" "Tentu saja, silahkan melihat-lihat kedalam jika kau tertarik pada lukisan. Namun sebenarnya apakah hal yang membuatmu datang kesini? Adakah sesuatu yang bisa aku bantu, messere?"
"Sebenarnya iya, Tuan Leonardo. Sebelumnya saya melihat pada papan pengumuman yang terletak di seluruh pojok dan pelosok kota, bahwa kau ingin membeli burung dari siapapun itu. Sejujurnya aku ingin mencarikanmu seekor, namun mustahil. Aku punya tangan, bukan sayap."
"Oh temanku yang baik, aku tidak bermaksut merepotkan mu. Aku benar-benar minta maaf padamu"
"Ti-tidak usah minta maaf Tuan Leonardo, itu merupakan hal yang tidak ada hubunganya dengan kesalahanmu." Jujur saja aku kaget mendengar dia meminta maaf kepadaku, dia begitu ... ramah. Meski kadang benci mendengar seseorang yang sangat ramah dan selalu mereka yang meminta maaf terlebih dahulu daripada kita. Teguran halus namun dengan luka gerutan yang dalam.
"Tidak, aku yang salah. Sebagai permintaan maafku, tolong terimalah sekantung florins ini karena telah menyita waktumu" "Leonardo, ini terlalu baik bagiku, tapi itu hanyalah waktu, masih ada berjam-jam waktu untukku" 
Mungkin ada yang salah dengan perkataanku yang membahas waktu, dia sedikit sedih dengan memegang pundakku dengan kedua tanganya "Teman, aku harap kau tidak melupakan kata-kataku untuk kedua kalinya, sekarang ambilah uang ini, dan cari apa yang kau butuhkan. Jika sudah, datanglah kembali, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu" Perkataanya seolah-olah beralih nada, dari yang awalnya gembira dengan lantang, sekarang menjadi rendah yang jika bisa dituliskan seperti note balok, mungkin sudah menyentuh tanah, sangat rendah, sangat sedih. Sekejab aku mengingat perkataanya saat kita pertama kali bertemu di plaza, aku seperti sudah benar-benar lupa akan perkataanya yang menasihatiku untuk menyayangi waktu. 
 "Oh mio dio! Maafkan perkataanku tadi, Leonardo. Aku benar-benar menyesal untuk mengatakan itu, tidak ada maksut bahwa aku telah lupa dari kata-katamu pada waktu itu" "Sudahlah, Claudio. Tidak apa-apa, setidaknya aku telah meyakinkanmu untuk yakin pada waktu" 
Kata-katanya begitu rendah, nasihat yang menyakitkan tapi sangat mendalam dan akan selalu teringat, ini adalah nasihat yang pertama kali masuk dalam otak sekaligus terkunci di dalamnya. Aku berjanji kepadanya untuk tidak melupakan kata-katanya, setidaknya hal ini membuat mulutnya sedikit tersenyum. Setelah angkat kaki dari istananya aku menuju tabib setempat untuk mencari beberapa obat penghilang rasa sakit, atau apapun itu yang mampu membantu wanita yang sedang menunggu, meskipun aku tak tau.

Penerapan menyayangi waktu akan aku lakukan dalam hal mencari tabib kali ini. Aku bertanya kepada pasukan templar setempat yang sedang melakukan patroli mengatakan, sudah sangat sedikit tabib yang ada di Firenze semenjak pendeta setempat mengira para tabiblah yang menyebabkan kasus black death disalah satu bagian dari Italia, namun saat tabib terbukti bahwa tabib tidak bersalah, sudah banyak tabib yang terbunuh karena eksekusi yang seharusnya tidak diberikan kepada mereka. Tapi dikatakan bahwa aku masih bisa menemukan beberapa tabib yang lolos dari inspeksi awal, dan membuka praktiknya tidak jauh dari sini.
Dan memang benar aku langsung menemukan tabib yang dibicarakan para penjaga pendeta tersebut. Bagaimana tidak, banyak orang dengan berbagai luka berlalu-lalang didepan rumah dengan tulisan besar tertera di atas rumahnya ; Medico.
"Salve, dottore" "Silahkan masuk, ada yang bisa saya bantu?" 
"Aku mencari ramuan atau perban dengan rempah obat-obatan yang bisa meredakan lebam disekitar tangan dan punggung, apa kau bisa meramukanya untukku?" kupercepat hingga tidak ada basa-basi dalam permintaanku kali ini, waktu terus mengalir, matahari terus tergelincir dengan cepat"
 "Mudah saja, tiga menit" Aku melihat tabib ini mengambil 3 siung bawang putih, dengan siraman madu. Cukup dengan menghancurkanya dan memasukanya kepada botol kaca berwarna hijau. "Siramkan ini pada perban yang ingin kau gunakan, jangan sampai ada yang terbuang, madu sangat mahal" "Baiklah dengan hal itu, berapa biayanya?" "Aku baru menemui mu untuk yang pertama kali pada hari ini, meskipun sepertinya aku pernah melihat wajah sepertimu, beruntunglah bagimu aku merasa kau hanyalah orang baru, mungkin pikirku hanya sebuah Deja Vu, dan beruntunglah sekali lagi, setiap pelanggan yang pertama kali kepadaku, semuanya adalah gratis. Arrivederci, ciao!"
Jujur saja aku kaget, senang, dan kaget. Dia mengatakan salam perpisahan dan kembali menuju tempat kerjanya dengan cepat. Ah sudahlah tidak ada waktu untuk memikirkan tabib itu. Aku langsung berlari kembali menuju rumah Leonardo.