Sunday, June 23, 2013

Fear The Promise part three


Kehilangan adalah kehidupan.


PART THREE : an Inference 
Florence, Italy. 1476
Day Three




Sehelai daun tak akan membenci angin yang telah membuatnya terjatuh diatas tanah yang membuat dirinya tak berguna. Sebagaimana aku yang seharusnya tidak membenci seseorang yang telah membuatku terpuruk pada suatu kondisi sehingga aku mengira tidak ada tempat lagi untukku. Aku hanya mengalami nasib buruk -uangku hilang. Ya, sebuah pencurian.

Aku tak sadar saat aku berdesak-desakan dengan masyarakat disini, seseorang telah memotong tali pada dompetku. Bodohnya aku yang baru saja sadar saat ingin membeli sebuah topi -karena sebelumnya aku ingin membaur dengan rakyat disini, sebagian besar mereka memakai topi dengan sebuah bulu di atasnya- dengan berat hati aku tinggalkan tempat mewah ini, renungan disebuah sisi sungai mungkin lebih baik. Ayahku selalu berkata, jika kau punya pikiran yang jenuh, pergilah ke sebuah sungai. Meski aku tidak pernah mengerti apa maksut perkataanya, tapi seseorang yang bijak adalah dia, hidup penuh dengan pengalaman. Lelaki tua yang jenius.

Sampailah aku disebuah sungai yang dangkal, namun cukup luas. Bahkan saking dangkalnya ikanpun bisa terlihat didalamnya, menikmati air yang segar selagi belum di injaki oleh kaki-kaki pencari ikan setempat. Merenungi apa yang telah Leonardo katakan, aku seperti ingin memukul ubun-ubunku sendiri dengan batu, sudah berapa lama aku membuang-buang waktu. Tapi aku juga ingin membela diriku sendiri, karena waktu yang telah terbuang juga bukan dari maksutku sendiri. Ah, sudahlah. Menyalahkan diri sendiri itu bodoh, untuk saat ini akupun tidak menangkap apa fungsinya menghampiri sungai ini untuk merenung, malah ini hanya buang-buang waktu. Saat tangan kiriku menopang badanku untuk berdiri, sebuah hentakan keras terdengar dari atas jembatan. Seperti sebuah suara benda yang keras membentur lantai batu. Sebuah keinginan untuk mencari tau asal darimana suaranya, entahlah... hal semacam ini seperti refleks menurutku.

Pikiran pertama yang ada dibenak, benda itu pasti keras dan berat, tergambarkan oleh suara benturan yang keras tadi. Jika bisa di gambarkan bagaikan melempar sebongkah batu berat sebesar meriam tepat keatas lantai batu. Pikiran kedua mungkin tidak cukup satu tenaga pemuda umur 25 tahun seperti aku ini cukup kuat untuk mengangkat benda ini. Dan pikiran ketiga baru saja aku sadari saat aku hampir sampai ditempat jatuhnya perkara dan sangat aku sesali, aku sadar hanya ada aku disini, tidak ada orang lain. Tapi hanya sepersekian detik, sebuah fakta didepan mata bisa menghapus pemikiran-pemikiranku tadi. Seorang wanita tergeletak jatuh disana. Dan untuk memperburuk keadaanku kini, perempuan itu pingsan. Dari situasi yang terlihat sepertinya wanita ini terjatuh dari kudanya, entah karena mabuk, sakit atau terlalu lelah, yang jelas wanita ini butuh pertolongan. Dari badanya tidak terlihat adanya cucuran darah sedikitpun, namun aku menemui beberapa cidera berupa lebam yang membiru seperti warna sendu di langit hari ini. Tak usah berpikir panjang, langsung kusenderkan badanya pada samping jembatan. Kuambil beberapa percik air dari sungai untuk membasuh wajahnya, dengan tangan yang gemetaran karena lagi-lagi pikiran yang aneh datang kembali. Ini merupakan pengalaman pertamaku menyentuh perempuan selain ibuku dan saudariku dirumah. Canggung, jelas. Tapi canggung ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekhawatiranku yang sekarang ini, takut dia tidak akan bangun. Tolong bangunlah, siapapun dirimu.

Cukup sudah! aku tidak akan mengambil resiko yang lebih tinggi, aku akan membawanya ke pemukiman terdekat, dan kurasa itu tidak sebegitu jauh dari sini. Kugendong badanya dan berlari seakan-akan ada ribuan templar dibelakangku sedang mengejarku karena mencuri pedang mereka. Semoga pengorbanan ini tidak sia-sia akhirnya.

Di waktu yang tepat sebelum aku kehilangan udara, aku melihat sebuah istal kuda, harfiahnya, meskipun tidak seekor kudapun terdapat disana. Yang seharusnya aku melihat seekor kuda didalam sebuah istal, malah terlihat seorang pak tua dengan garpu besarnya yang sedang merapikan bekas jerami disana. Sesaat dia melihat kepadaku, dan sepertinya dia mengerti kondisiku yang sekarang, terlihat dia berlari menuju rumahnya dan kembali membawakan semangkuk air dan handuk.


"Letakkan saja dia dijerami itu! Mungkin cukup nyaman sebagai tempat beristirahat untuknya. Duduklah dulu anak muda, kau seperti laki-laki yang telah lama lupa tentang cara bernafas" Terlihat caranya berbicara sepertinya dia sedang bergegas, atau khawatir tentang sesuatu. Suatu hal yang tidak ingin kudengar adalah kabar buruk mengenai kondisi wanita ini. Mungkin jika kau jadi aku sekarang, kau mungkin akan berfikir, hal buruk seperti ini sangat tidak layak dan adil terjadi pada wanita secantik ini. 
"Grazie ...! Mister, apakah kau mengenali wanita ini? Dia golongan bangsawan bukan?" Aku bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi,.
 "Dari gaun yang ia genakan, aku yakin iya. Tapi aku bingung hal apa yang membuat dirinya pergi ke tempat perdesaan seperti ini. Sebenarnya apa yang dia cari?"
"Maafkan aku Pak Tua, tapi sepertinya jawabanku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, bahkan aku tidak mempunyai jawaban untuk itu. Yang kutau aku sudah melihat perempuan ini tergeletak jatuh ditepi jembatan, aku punya sedikit pilihan untuk itu, dan resiko yang banyak."
Sambil duduk jongkok melihat kondisi wanita itu, dia menjawab "Oh yasudahlah, kau juga boleh istirahat disini. Silahkan cari tempat yang menurutmu nyaman, tapi senyaman-nyamanya gubukku ini lebih nyaman hidup dilubang tikus"
Duduk dalam posisi rileks adalah surga sementara bagiku. Mungkin saking lelahntya kakiku sudah tidak bisa di gerakkan lagi. Terlalu manja? cobalah mengangkat seseorang dengan membawa tas yang beratnya sama setengah dari beratmu. Tapi betul juga, tas ini sudah terlalu berat dengan hal-hal yang mungkin sama tidak bergunanya dengan berteriak kepada orang tuli.

Saat hampir saja mata ini tertutup untuk kenikmatan tertinggi dari hidup, muncul suara dari bibir wanita itu. Namun sesaat setelah dia mengucapkan kata itu, dia kembali tertidur, terlelap dalam mimpi maya yang membantunya pulih kembali. Dan aku? terimakasih untuknya, mataku tidak bisa tertutup kembali. Seolah-olah tubuhku dan kejadian hidup ini melakukan hal  yang tidak ingin kuinginkan. Pertama dompetku yang hilang, kedua kejadian disamping sungai yang mengherankan. Dan yang ketiga aku tidak bisa tidur dan istirahat dimana seumur hidupku ini adalah saat yang paling aku butuhkan. Tapi sudahlah ... kehidupan.

-to be continued-

No comments:

Post a Comment