Tuesday, June 25, 2013

Fear The Promise part four


Cinta, itu ilusi. Tertawakan mereka yang termakan ilusi.

PART FOUR : a Question about a smile
Florence, Italy. 1476
Day 4th

Aku merasa seorang kikir yang selalu ingat akan kehilangan hartanya. Tapi kau ingin fakta? aku bukanlah orang yang kaya. Orang yang tidak kaya tidak bisa kikir. Aku hanya terlalu banyak memikirkan tentang uangku yang sekarang. Secara harfiah itu bukan uangku, ya meskipun itu telah berpindah tangan karena seorang pencuri bangsat pazzo di merda itu. Aku tidak bisa membenci pencuri itu, aku tidak bisa membenci seseorang. Kau tau, seperti bawaan keturunan. Bahkan ayahku yang telah di fitnah karena tidur dengan wanita lainpun tidak mengucapkan satu kata umpatanpun kepada penuduhnya. Dan untukku, aku hanya ingin uangku di kembalikan. Ini memberikan rasa takut untukku. Rasa takut yang muncul saat kau berada didaerah yang asing tapi kau tidak membawa bekal untuk perjalananmu, dalam hal ini uangku. Aku tidak akan memelas kasih kepada pak tua pemilik istal ini untuk memberikanku beberapa florins, tapi mungkin aku bisa tau dimana aku bisa mendapatkan beberapa uang dengan bertanya kepadanya.
"Mi scusi, signore (excusme, mister)Apa kau tau sebuah tempat dikota ini dimana aku bisa mendapatkan uang? Maksutku, sebuah pekerjaan"
"Certamente! (absolutely!) Pergilah kembali kearah jembatan ditempat kamu menemukan gadis ini, berjalanlah lurus searah jalan setapak" 
"Tapi Pak Tua, itu adalah jalanku tadi. Apa kau menyuruhku untuk kembali kekota?" 
 "Hahaha tentu saja! Hanya orang tanpa nyawa yang tidak mendapatkan uang dikota besar seperti itu. Tapi apa kau yakin ingin kembali secepat itu?"
Pertanyaanya benar-benar memutar otakku untuk berfikir tentang nasib wanita ini, dan aku memiliki jawaban yang menurutku cukup baik. "Aku akan pergi mencari uang untuk membantu wanita ini, barangkali dia membutuhkan obat. Jadi aku harus mencari uang untuk itu meskipun aku harus menjadi cazzo (dirt).
"Kau cukup baik untuk seorang laki-laki. Maafkan aku karena tidak bisa membantu, tapi yang jelas aku punya tempat naungan, yang tentu saja tidak lebih nyaman dari ... -" "Sudahlah Pak Tua, ini tentu lebih dari cukup" potongku.
"Kau benar-benar orang yang baik anak muda, siapa namamu?"
"Claudio, Claudio Federico"
"Hei.... jangan bilang kau saudara dari laki-laki bangsat itu? Si ragazzo fortunato (lucky man) itu?" Orang tua itu bertanya seolah-olah seluruh dosa anak itu ditimpakan kepadaku. "Si, mohon maaf denganmu Pak Tua, tapi apa ada sesuatu yang membuatmu mengatakan bahwa adikku seorang coglione ?" "Oh? Tentu saja ! Hahaha seluruh penjuru desa ingin membunuhnya sekarang karena iri denganya, dan semenjak saudaranya ada di kota ini, mungkin kami semua akan mengincarmu dulu hahaha!"
Tentu saja aku tidak mengerti maksut apa kata orang ini. Meracau dan berkata seolah tidak pernah ada kata-kata halus tercipta di dunia ini. Sebuah kata yang menandakan bahwa sekarang adalah suasana yang berbahaya memaksa tangan kananku meraih belati putih yang tersarung di sebelah kanan bajuku.
"Wow! Tenang dulu Anak Muda! Aku tidak bermaksut untuk benar-benar mencekikmu dan menusukmu dengan garpuku ini hahaha!" "Lalu, apa yang kau maksut dengan aku dan adikku menjadi buronan kota ini?" "Aku hanya bercanda, itu sebuah idiom. Secara harfiahnya kami semua memang terlalu cemburu melihat adikmu dapat bersama dengan perempuan itu, tapi kita masih memiliki akal sebagai manusia yang terpandang. Kami tidak mungkin bertengkar dan saling membunuh untuk memenuhi nafsu hewani kita. Kita orang Firenze tuan Federico!"
Aku bisa mengerti sekarang, kota ini serupa dengan kumpulan lebah. Hanya satu yang dinamakan royal jelly, dan yang akan memakanya akan menjadi ratu lebah. Memang sangat mewah dan menyenangkan, tapi tidak ada seekor lebahpun yang mampu memprotes hal itu. Kejadian alam memang hakim yang sangat bijaksana.
"Oh begitukah? Baiklah kalau begitu, aku bisa menyembunyikan nama keluargaku dulu untuk beberapa saat. Hmm baiklah, memulai dengan nama baru ... ." Kemudian pak tua itu menyela. "Bagaimana dengan tambahan de Firenze pada belakang namamu? Sekedar untuk menunjukkan bahwa kau benar-benar lahir di tanah ini" "Aku suka dengan nama itu, tapi aku kekurangan banyak identitas pada fisik yang menunjukkan bahwa aku sendiri seorang Firenze
Pak tua itu berpikir sejenak dengan memegang dagunya dan mendaratkan badanya pada sebuah pilar penyangga istal kudanya, meskipun aku yakin pilar itu bahkan takkan mampu menyangga setengah berat badan pak tua ini. Kau pernah melihat kayu yang telah dibakar? Itu lebih baik daripada gambaran tentang pilar ini.
"Mungkin kau hanya perlu ... Tunggu sebentar, aku akan kembali". Pak tua itu kembali ke dalam rumahnya, untuk mengambil sesuatu aku pikir. Kulihat kembali keadaan wanita yang sedang tertidur ini. Banyak yang mengatakan bahwa wanita Firenze itu lemah, hidung yang terlalu mancung dengan mata yang gelap, dan setelah aku memandang wanita ini patah sudah fakta-mitos tentang kondisi kota ini.
Aku berkata pada diriku "Mungkin satu helaian tak akan berlebihan". Aku belai rambutnya yang indah. Coklat kemerahan, warna karamel pada gula yang sudah matang. Masih belum ada reaksi yang menunjukkan bahwa wanita sudah memulihkan dirinya dari trauma yang telah terjadi. Ini membuatku tersenyum, entah hal apa yang membuat diriku merasa mengantuk. Kurebahkan sandaran hidup ini pada tumpukkan jerami, dan hampir saja saat aku akan menjemput kenikmatan duniawi ku kembali, suara keras datang dari depanku. Oh Pak Tua ...
"Claudio! Claudio! Aku temukan barangnya! Kesinilah sebentar, kau pasti akan menyukainya!" 
Aku berdiri lagi, berjalan gontai dengan menundukkan kepala ke arah suara tersebut. Memang kondisiku kurasa sudah fit saat aku mengatakan akan pergi ke kota untuk mencari beberapa obat, tapi seketika hilang lagi setelah aku HANYA membelai rambutnya. Tetapi apa ini sebuah rasa lelah? Atau suatu hal yang belum pernah kurasakan. Aku mengantuk memang, tapi di dalam tubuh ini ada yang sedang semangat melakukan sesuatu. Jantungku, degupnya sangat tidak biasa.
"Apa yang telah kau temukan Pak Tua? Sebuah gaun khas atau ... sebuah sepatu?". "Ya! Sebuah sepatu! Lihatlah kakimu, mengganakan sandal dari kayu tua yang jelek. Lebih jelek daripada wajahku ini hahaha".
Aku tertawa sedikit, jujur saja ini sebuah kekecewaan. Kukira sebuah gaun khusus atau topi bulat yang dibuat sedikit miring dengan indah, atau hal serupa yang menunjukkan aku seorang yang berada. Meskipun begitu aku siap untuk berangkat sekarang.

Kurang dari selangkah aku melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, kutengok sebelah kananku tempat wanita itu tertidur. Sedikit ku ingat tentang belaianku kepadanya, dan itu membuatku tersenyum. Aku tak punya apapun, tak punya bukti dan pengetahuan apapun tentang hal yang menyebabkan aku tersenyum, tapi aku tau itu indah.

No comments:

Post a Comment