Wednesday, July 3, 2013

Fear the Promise part five


Sayangi, jangan kau lepas dan jangan kau tangkap.

PART FIVE : a Never ending walk
Florence, Italy. 1476
Day unknown

Melihat seseorang menangkap apa arti sebuah kata indah, begitu banyak arti dan filosofi yang dimaknai dari setiap manusia. Sebagai contoh saat aku tersenyum tanpa mengerti mengapa bisa begitu, aku hanya berpikir ini mungkin hal yang paling indah yang pernah dirasakan. Tapi ada rasa menjanggal yang menyandung, berteriak, dan menyeretku untuk seolah-olah mencari tau apa itu. Aku biarkan saja pertanyaan ini mengalir dalam langkah menuju pusat kota, mungkin semakin lama akan muncul dan terkuak sendiri dalam kepala, mungkin. Tentu saja aku tidak bisa membenci suara-suara kepala yang terus menanyakan apa yang terjadi barusan ini. Karena kita tidak bisa membenci atau menyukai sesuatu, tanpa mengerti dan mengetahui ada apa dengan hal itu. Kalau kau tidak, kau bodoh.

Terlihat juga akhirnya rumah yang terbuat dari batu, sejalan tadi tidak terlihat rumah yang pondasinya meyakinkan saya akan kuatnya menahan angin disini, ini pertanda bahwa kota sudah mulai dekat dari sini. Mengetahui hal itu, aku duduk sebentar di tepian jalan ; ada sebuah meja batu. Memang sepatutnya itu adalah meja dengan luas yang pastinya adalah meja, tapi ketinggian benda ini meyakinkan bahwa ini meja untuk duduk. Kutengok sebelah kiri tempat jalanku melintas tadi, sepi. Tidak ada seorangpun terlihat sepanjang setapak batu, bahkan kau sangat beruntung jika menemui hewan yang melintas lewat jalan itu, dan parahnya jalan ini terlihat sedikit mengerikan. Serasa ramai dengan kesepian. Ah sudahlah lupakan! Kutengok sebelah kanan di mana rumah berpondasi batu itu, ada sebuah papan pengumuman ditempel di tembok luarnya. Kupikir daripada tidak melakukan apa-apa seperti batu dengan pikiran, itu lebih baik, sedikit lebih baik. Kubaca beberapa tulisan, tidak semuanya penting, beberapa ada yang mencari binatangnya yang hilang, yang lain ada yang mencari pelukis untuk hal yang masih belum aku pahami. Tapi ada satu hal yang mengejutkanku, dan nama Leonardo tertera disana. Tertulis bahwa dia ingin membeli seluruh peliharaan masyarakat disini ; burung.

Ini merupakan kesempatanku untuk mendapatkan uang, sekaligus untuk bertemu Leo yang kedua kalinya. Orang itu benar-benar memiliki kharisma seorang penemu dengan seluruh kelebihan lagi dalam dirinya. Menunjukkan kecerdasanya mungkin dia mengetahui beberapa obat yang bisa aku beli di kota ini, tentunya untuk wanita yang ada di 'rumah' pak tua itu sekarang. Dan hal yang harus kulakukan sekarang adalah, mencari burung sebanyak-banyaknya, dan akan kumulai dari jalan setapak yang kulalui tadi. Tidak adanya orang yang terlihat di jalan setapak tadi adalah alasanku, tidak akan ada saingan di dalamnya.

5 jam berlalu, spekulasiku terlalu tinggi pada awal aku mulai mencari menyebabkan kebodohan yang benar-benar dalam. Benar-benar bodoh mengira menangkap burung akan semudah menangkap wanita gemuk yang sedang berlari. Seakan-akan aku lupa bahwa mereka bisa terbang! Cazzo! Sebagai hasilnya, nihil. Melihat memang melihat, ada memang ada, tapi dari jarak 10 meter saja mereka sudah berusaha untuk terbang. Mustahil untuk menangkap mereka kecuali aku memiliki refleks ular, racun kalajengking dan sayap elang, mustahil memang. Jadi ku urungkan niatku untuk menangkap beberapa burung, aku akan mengunjungi Leonardo dulu, dan berharap ini lebih baik.

Sampai kakiku di depan rumah tingkat, dengan arsitektur menyerupai bangunan yang ada di kampung halamanku dulu, aku merasa tidak asing. Tertulis di halamanya, bagi yang ingin menjual burung hasil tangkapan silahkan langsung masuk. Karena aku mempunyai urusan yang cukup sama dengan yang tertera pada papan di halamanya, aku langsung masuk saja.
"Salve Leonardo! Come va?" Suaraku menyeruak langsung seakan kami sudah berteman seabad lebih.
"Grande! Mate bene, tu? Hei kau bukanlah seorang tampan yang kutemui beberapa hari yang lalu?" Rupanya dia masih belum melupakan kejadian 'kopi panas' itu.
"Bene grazie, ya memang benar ini aku, Sebelumnya aku belum memperkenalkan namaku. Kenalkan, Claudio..." Aku sengaja memutuskan untuk tidak mengatakan nama akhiranku, jika iya, bisa jadi orang-orang disini sudah menyalamiku. Ya, benar. Disini ramai, banyak yang membawa sangkar burung dengan mereka ditambah berbagai warna dan jenis burung yang berbeda, aku merasa tertinggalkan.
"Claudio! Kalau begitu, benvenuto! (welcome)" "Trimakasih Leonardo, ini sangat menyenangkan" "Tentu saja, silahkan melihat-lihat kedalam jika kau tertarik pada lukisan. Namun sebenarnya apakah hal yang membuatmu datang kesini? Adakah sesuatu yang bisa aku bantu, messere?"
"Sebenarnya iya, Tuan Leonardo. Sebelumnya saya melihat pada papan pengumuman yang terletak di seluruh pojok dan pelosok kota, bahwa kau ingin membeli burung dari siapapun itu. Sejujurnya aku ingin mencarikanmu seekor, namun mustahil. Aku punya tangan, bukan sayap."
"Oh temanku yang baik, aku tidak bermaksut merepotkan mu. Aku benar-benar minta maaf padamu"
"Ti-tidak usah minta maaf Tuan Leonardo, itu merupakan hal yang tidak ada hubunganya dengan kesalahanmu." Jujur saja aku kaget mendengar dia meminta maaf kepadaku, dia begitu ... ramah. Meski kadang benci mendengar seseorang yang sangat ramah dan selalu mereka yang meminta maaf terlebih dahulu daripada kita. Teguran halus namun dengan luka gerutan yang dalam.
"Tidak, aku yang salah. Sebagai permintaan maafku, tolong terimalah sekantung florins ini karena telah menyita waktumu" "Leonardo, ini terlalu baik bagiku, tapi itu hanyalah waktu, masih ada berjam-jam waktu untukku" 
Mungkin ada yang salah dengan perkataanku yang membahas waktu, dia sedikit sedih dengan memegang pundakku dengan kedua tanganya "Teman, aku harap kau tidak melupakan kata-kataku untuk kedua kalinya, sekarang ambilah uang ini, dan cari apa yang kau butuhkan. Jika sudah, datanglah kembali, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu" Perkataanya seolah-olah beralih nada, dari yang awalnya gembira dengan lantang, sekarang menjadi rendah yang jika bisa dituliskan seperti note balok, mungkin sudah menyentuh tanah, sangat rendah, sangat sedih. Sekejab aku mengingat perkataanya saat kita pertama kali bertemu di plaza, aku seperti sudah benar-benar lupa akan perkataanya yang menasihatiku untuk menyayangi waktu. 
 "Oh mio dio! Maafkan perkataanku tadi, Leonardo. Aku benar-benar menyesal untuk mengatakan itu, tidak ada maksut bahwa aku telah lupa dari kata-katamu pada waktu itu" "Sudahlah, Claudio. Tidak apa-apa, setidaknya aku telah meyakinkanmu untuk yakin pada waktu" 
Kata-katanya begitu rendah, nasihat yang menyakitkan tapi sangat mendalam dan akan selalu teringat, ini adalah nasihat yang pertama kali masuk dalam otak sekaligus terkunci di dalamnya. Aku berjanji kepadanya untuk tidak melupakan kata-katanya, setidaknya hal ini membuat mulutnya sedikit tersenyum. Setelah angkat kaki dari istananya aku menuju tabib setempat untuk mencari beberapa obat penghilang rasa sakit, atau apapun itu yang mampu membantu wanita yang sedang menunggu, meskipun aku tak tau.

Penerapan menyayangi waktu akan aku lakukan dalam hal mencari tabib kali ini. Aku bertanya kepada pasukan templar setempat yang sedang melakukan patroli mengatakan, sudah sangat sedikit tabib yang ada di Firenze semenjak pendeta setempat mengira para tabiblah yang menyebabkan kasus black death disalah satu bagian dari Italia, namun saat tabib terbukti bahwa tabib tidak bersalah, sudah banyak tabib yang terbunuh karena eksekusi yang seharusnya tidak diberikan kepada mereka. Tapi dikatakan bahwa aku masih bisa menemukan beberapa tabib yang lolos dari inspeksi awal, dan membuka praktiknya tidak jauh dari sini.
Dan memang benar aku langsung menemukan tabib yang dibicarakan para penjaga pendeta tersebut. Bagaimana tidak, banyak orang dengan berbagai luka berlalu-lalang didepan rumah dengan tulisan besar tertera di atas rumahnya ; Medico.
"Salve, dottore" "Silahkan masuk, ada yang bisa saya bantu?" 
"Aku mencari ramuan atau perban dengan rempah obat-obatan yang bisa meredakan lebam disekitar tangan dan punggung, apa kau bisa meramukanya untukku?" kupercepat hingga tidak ada basa-basi dalam permintaanku kali ini, waktu terus mengalir, matahari terus tergelincir dengan cepat"
 "Mudah saja, tiga menit" Aku melihat tabib ini mengambil 3 siung bawang putih, dengan siraman madu. Cukup dengan menghancurkanya dan memasukanya kepada botol kaca berwarna hijau. "Siramkan ini pada perban yang ingin kau gunakan, jangan sampai ada yang terbuang, madu sangat mahal" "Baiklah dengan hal itu, berapa biayanya?" "Aku baru menemui mu untuk yang pertama kali pada hari ini, meskipun sepertinya aku pernah melihat wajah sepertimu, beruntunglah bagimu aku merasa kau hanyalah orang baru, mungkin pikirku hanya sebuah Deja Vu, dan beruntunglah sekali lagi, setiap pelanggan yang pertama kali kepadaku, semuanya adalah gratis. Arrivederci, ciao!"
Jujur saja aku kaget, senang, dan kaget. Dia mengatakan salam perpisahan dan kembali menuju tempat kerjanya dengan cepat. Ah sudahlah tidak ada waktu untuk memikirkan tabib itu. Aku langsung berlari kembali menuju rumah Leonardo.

No comments:

Post a Comment